SEKOLAH RUMAH

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) arti “sekolah” bukan hanya berarti bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar, serta tempat menerima pelajaran yang merujuk kepada tingkatan, jurusan atau batasan tertentu termasuk jam pelajaran; akan tetapi juga usaha menuntut kepandaian atau ilmu pengetahuan, pelajaran atau pengajaran. Itulah sebabnya di tahun 1977, John Holt mulai mempublikasikan majalah “Growing Without Schooling” dan gerakan “unschooling” dan menekankan bahwa pendidikan tidak seharusnya dibatasi oleh lembaga, gedung, ruang, waktu, tingkatan dan jurusan; tetapi membiarkan anak secara merdeka menemukan dirinya sendiri.

Jiddu Krishnamurti, seorang penulis dan penceramah tentang kehidupan mengatakan fungsi pendidikan adalah untuk menolong kita dari kecil untuk tidak meniru orang lain, tetapi senantiasa menjadi dirinya sendiri.

“Sebab Engkaulah yang membentuk buah pinggangku, menenun aku dalam kandungan ibuku. Aku bersyukur kepada-Mu oleh karena kejadianku dahsyat dan ajaib; ajaib apa yang Kaubuat, dan jiwaku benar-benar menyadarinya. Tulang-tulangku tidak terlindung bagi-Mu, ketika aku dijadikan di tempat yang tersembunyi, dan aku direkam di bagian-bagian bumi yang paling bawah; mata-Mu melihat selagi aku bakal anak, dan dalam kitab-Mu semuanya tertulis hari-hari yang akan dibentuk, sebelum ada satupun dari padanya”. – Mazmur 139:13-16


Pertanyaannya, apapun istilah atau konsep yang kita pakai, apakah sekolah atau non-sekolah, sekolah rumah atau pendidikan rumah; tujuan dari apa yang ingin dicapai oleh setiap individu adalah untuk bisa menemukan jawaban dari pertanyaan, siapa saya, kemana arah tujuan hidup saya, dan bagaimana saya bisa memberi arti dalam kehidupan ini.

Pendidikan Oleh Keluarga

Keluarga adalah lembaga terkecil dimana sebuah kehidupan dimulai. Pada saat kehidupan dimulai, saat yang sama dimulailah pendidikan. Pendidikan adalah sebuah proses pemindahaan dan pembentukkan kehidupan yang sudah ada dalam kehidupan Ayah dan Ibu, termasuk nilai-nilai, kepercayaan, dan kebiasaan yang sudah terbentuk sejak lama, mengenai apa yang penting dan tidak penting, baik atau buruk, dan berharga atau tidak berharga. Secara sadar atau tidak, nilai, kepercayaan, dan kebiasaan ini diturunkan melalui contoh teladan dan pelatihan, sehingga masing-masing kehidupan dapat terbentuk secara unik dan saling memberi makna.

Ketika pendidikan dalam keluarga tidak dilaksanakan dengan baik, maka anak tidak bisa menemukan jati diri atau identitas dalam dirinya. Anak tidak mengerti mengapa dia dilahirkan, bagaimana berinteraksi dengan lingkungan dan bahkan dengan keluarganya, dan anak memiliki ketakutan untuk melihat jauh ke masa depannya. Kalau hal ini terus menerus berlangsung, maka yang kita lihat adalah anak-anak yang terombang-ambing, tidak percaya diri, dan terus mencari sesuatu di luar dirinya untuk menopang identitas diri yang palsu dengan cara meniru dan menjiplak dirinya dari apa yang dianggap baik dan benar. Ketika seorang anak sudah meniru orang lain, maka timbullah konflik bukan hanya dengan keluarganya dan lingkungannya, tetapi dengan dirinya sendiri.

Pendidikan oleh Masyarakat

Keberhasilan dari pendidikan di rumah hanya dapat diuji ketika anak-anak hasil didikan keluarga menjadi bagian dari keberhasilan dan kemajuan masyarakat di sekitarnya. Tiap keluarga yang berhasil dalam mendidik anak-anak akan saling memberi makna, tidak saling melemahkan, tetapi saling memperkuat setiap potensi di sekitarnya (interdependency).

Untuk melengkapi kebutuhan masyarakat dalam membangun potensi dan keunggulan masyarakat, maka setiap keluarga perlu membangun keahlian yang saling melengkapi kebutuhan masyarakat dalam kesehariannya. Melalui Balai Desa, masyarakat Bali masih mempertahankan kebudayaan dan kesenian menari, bermain alat musik dan bahkan keterampilan memahat dan melukis, yang terus diturunkan kepada generasi muda sampai sekarang, dan membuat Bali menjadi tempat wisata dunia.

Kauman dijadikan kampung wisata batik sejak 2006 lalu. Kampung ini mulai tumbuh saat Raja Keraton Surakarta Paku Buwono III mengajarkan kaum abdi dalem Keraton dan keluarga untuk membuat batik klasik (pakem). Sampai saat ini tradisi tersebut masih mempertahankan dan diturunkan kepada generasi muda. Pendidikan yang dikembangkan dalam masyarakat atau industri keluarga atau masyarakat yang interdependency akan menghasilkan masyarakat yang kuat.

Pendidikan Oleh Negara

Ketika negara mulai menyusun kekuatan untuk membangun negara, maka industri menjadi tulang punggung kemakmuran bangsa. Ketika negara mencanangkan sebagai negara industri, maka industri rumahan atau industri masyarakat mulai digantikan dengan industri pabrik. Industri pabrik yang memerlukan tenaga kerja mulai membuka lapangan kerja yang kemudian mulai “menarik” ayah-ayah dari rumahnya, bahkan termasuk “ibu-ibu”. Sebagai wujud tanggung jawab negara, maka anak-anak ini akhirnya dikumpulkan dalam sebuah program yang akan mempersiapkan anak-anak untuk menjadi pekerja-pekerja yang diharapkan lebih baik kualitasnya dari orangtua mereka. Mulailah pendidikan “link and match” dimana keberhasilan anak-anak diukur dari seberapa cocok “cetakan” yang ada dengan kebutuhan industri. Mulailah anak-anak menjadi aset yang berharga bagi negara dimana investasi yang dikeluarkan oleh pemerintah harus menghasilkan “output” yang sesuai dengan industri yang dibangun.

Sekolah-sekolah yang dibangun oleh negara mulai memberikan syarat-syarat yang memaksa anak untuk mencetak diri mereka sesuai dengan apa yang dianggap sempurna. Di negara-negara industri yang maju, anak-anak menghabiskan waktunya di sekolah dan di tempat les, hanya untuk bisa lulus dan masuk ke sekolah negeri yang terbaik, dan penyeleksian ini harus dibayar dengan kenyataan banyaknya pelajar yang bunuh diri karena murid harus percaya bahwa tidak ada masa depan bagi murid yang gagal seleksi.

Robert B. Reich dalam bukunya tentang pendidikan di abad 21 memberikan peringatan bahwa negara-negara harus menangani pendidikan dengan lebih baik, sehingga bukan hanya menghasilkan anak-anak yang sesuai dengan standar “link and match” dengan program pemerintah, tetapi juga harus melindungi keunikan dan jati diri anak, yang pastinya berbeda satu dengan yang lainnya.

Perkembangan Sekolah Rumah

Dunia masih mengakui Amerika sebagai negara dimana homeschool atau dalam istilahnya yang dipakai oleh aturan tentang homeschool yaitu sekolah rumah mulai berkembang dan mendunia. Pergerakan sekolah rumah dimulai di tahun 1970an ketika John Holt, seorang peneliti pendidikan dan pendukung reformasi pendidikan, mulai menulis majalah “Growing Without Schooling” yang dikeluarkan secara berkala sejak tahun 1977. Pendapatnya adalah sekolah formal yang didirikan oleh pemerintah hanya mencetak anak-anak untuk menjadi pekerja yang baik di kemudian hari tidak memberikan kebebasan anak untuk memunculkan keunikan masing-masing anak. John Holt ingin menyadarkan orangtua untuk memerdekakan anak-anak dari batasan-batasan lembaga sekolah yang dikenal dengan gerakan “unschooling”.

Gerakan inilah yang melahirkan generasi pertama pesekolah rumah di Amerika, dan bahkan didukung penuh oleh peneliti pendidikan lainnya, Raymond Moore, yang mendengungkan bahwa sekolah akan menghambat potensi anak dan menekankan pentingnya pendidikan lima tahun pertama (golden years) anak bahkan mendidik anak-anak di rumah oleh orangtua sampai anak berumur 9 tahun akan memperkuat fondasi anak, bukan hanya kemampuan akademis, tetapi secara psikologis, moral, dan kedewasaan berpikir.